KH Abdul Chalim Leuwimunding, menurut penuturan putranya, KH Asep Saefudin Chalim, lahir pada 2 Juni tahun 1898 M di Leuwimunding, Majalengka yang dulu masuk Karesidenan Cirebon. Cerita-cerita beliau selama ini dan ditulis berbagai media daring, berasal dari Cebolerang ataupun Jatiwangi, dan anak penghulu Jatiwangi Muhammad Iskandar adalah tidak tepat. Beliau berasal dari Leuwimunding, anak seorang Kuwu dan bangsawan di Kawedanan Leuwimunding, Majalengka. Sebab, ada orang lain yang memiliki nama yang sama dengan penulisan yang sedikit berbeda, yaitu KH Abdul Halim Jatiwangi, pendiri Persatuan Umat Islam (PUI).
Keluarga Kiai Abdul Chalim merupakan pejuang yang memperjuangkan kemerdekaan masyarakat pribumi dari bangsa penjajah. Sang ayah bernama Buyut Kedung Wangsagama, adalah seorang yang pernah menjadi Kuwu di Leuwimunding, dan buyut-buyutnya adalah orang-orang terpandang, yaitu Buyut Liuh dan Buyut Kreteg. Ibunya Ni Satimah adalah keturunan Pesantren Banada. Sementara Buyut Liuh, dalam cerita di Majalengka adalah seorang pejuang dalam perang-perang antikolonial di Cirebon-Majalengka (di antaranya Perang Kedongdong, 1802-1818 M) dan aktif membangun tatanan pemerintahan Leuwimunding. Sementara Buyut Kreteg adalah salah satu tokoh keturunan Sunan Gunung Jati.
Belajar di pesantren dan Hijaz
Masa belajar KH Abdul Chalim Leuwimunding dihabiskan di pesantren-pesantren di Majalengka sampai tahun 1913 M. Beliau sewaktu kecil dididik ayahnya, yaitu Mbah Kuwu/Buyut Kedung agar ngaji di beberapa pesantren, khususnya di Banada, Trajaya, Rajagaluh, Kedungwuni, dan Babakan.
Dalam asuhan keluarga para pejuang, KH Abdul Chalim Leuwimunding menjalani tirakat menuntut ilmu sampai ke Makkah. Beliau berangkat ke Hijaz tahun 1913 M, yang masa ini para ulama di Nusantara, kyai-kyai keturunan Sunan Gunung Jati, dan ulama-ulama lainnya di Jawa juga banyak yang pergi ke Hijaz. Di Makkah, beliau mukim selama setahun dan sempat bertemu-bersahabat dengan KH Asnawi Kudus, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Abbas Abdul Jamil Buntet, dan kiai-kiai lain. Sewaktu di Makkah itu, selain belajar ngaji kepada para syekh dan bershuhbah dengan para calon ulama besar di Jawa, juga belajar silat bersama KH Abdul Wahab Chasbullah, KHR Asnawi Kudus, dan sejumlah kiai lainnya. Kemudian beliau bersama sebagian sahabatnya, termasuk dengan salah satu gurunya dari Rajagaluh bernama Syekh Sulaiman Pajajar, pulang ke Majalengka pada tahun 1914.
Aktivitas di Leuwimunding dan Batavia
Perjuangan KH Abdul Chalim Leuwimunding dimulai setelah pulang dari Negeri Hijaz tahun 1914 M. Di Leuwimunding, beliau banyak tadabur alam menyusuri sungai-sungai, dan menggarap sawah-ladang milik ayahnya, selain menjadi juru tulis di Kawedanan Leuwimunding. Pada tahun 1919 M, KH Abdul Chalim Leuwimunding menikah dengan seorang gadis dari Patalagan, Kuningan, bernama Ni Mahmudah.
Melalui jaringan informasi Kekuwuan, beliau mendengarkan Peristiwa Cimareme 1919 dibicaraan di ebrbagai tempat di Jawa Barat, yaitu Gerakan Antikolonial KH. Hasan Arif di Garut. Peristiwa ini adalah gerakan protes Kiai Hasan Arif dan jaringannya yang dibantai militer penjajah berpusat di Cimareme, Cikendal, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Setelah kurang dari 2 tahun Peristiwa Cimareme (1919) terjadi itu, pada tahun 1921 KH. Abdul Chalim Leuwimunding menikah dengan seorang gadis dari Pasirmuncang bernama Ni Hj Siti Noor. Akan tetapi, tidak lama kemudian beliau berhenti dari jabatannya sebagai jurutulis Kawedanan Leuwimunding, di pada akhir tahun 1921 M beliau memilih pergi ke Jayakarta/Batavia.
Di Batavia, beliau menjadi buruh di gerbong kereta Kramat Jati, mengajar anak-anak ngaji dan mengamati Jakarta dari dekat. Setelah dirasa cukup di Jayakarta, beliau kembali ke Majalengka bersamaan dengan ayahnya yang wafat pada tahun 1922.
Setelah wafatnya Buyut Kedung, beliau tidak bergabung dengan pergerakan di Majalengka yang sudah ada di kota itu. Beliau selain sering ke Pertapaan Banada juga ke Rajagaluh, tempat Syekh Sulaiman Pajajar.
Setelah mendapatkan wejangan-wejangan dari Syekh Sulaiman Pajajar Rajagaluh, yang menasehatinya agar bila mencari ilmu mengembangkannya agar pergi ke Timur, beliau semakin mantab menatap masa depan. Beliau memilih melakukan perjalanan ke Kareseidenan/Gemeente Surabaya pada tahun 1922 M dengan long march/jalan kaki berbekal tas berisi kitab, sarung, dan kunyit.
Bergabung dengan Jaringan Kiai-Ulama di Surabaya
Perjalanan kaki dilewati selama 14 hari (2 hari tidak melakukan perjalanan karena menginap atau ngaso). Rutenya ditempuh melalui Leuwimunding, Losari, Comal, Tegal, Batang, Semarang, Purwodadi, Solo, Sragen, Madiun, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, dan Surabaya. Ketiak di Jombang menginap di Pesantren Tebuireng. Ketika di Surabaya, beliau diperantarai KH Amin Praban dapat bertemu dengan guru sekaligus sahabatnya yang sudah tinggal di Kertopaten, yaitu KH Abdul Wahab Chasbullah. Beliau bergabung dengan Nahdlatul Wathan sejak 1922. Awalnya, beliau diminta menangani administrasi Nahdlatul Wathan (semacam kepala Administrasi), tetapi kemudian menjadi guru di lembaga itu dan duduk di jajaran ulama, dan ikut mengembangkan lembaga ini mencetak kader-kader kiai muda.
Bersama kiai-kiai lain di Surabaya, Kiai Abdul Chalim terlibat intens dalam mengorganisasi Taswirul Afkar, Syubbanul Wathan, Komite Hijaz, dan pendirian Jam`iyah NU. Sebelum tahun 1926, menurut penuturan KH Masjkur (1982: 21), KH Abdul Chalim juga mewakili kalangan ulama pesantren di dalam Kongres-kongres al-Islam, termusuk ketika membentuk Komite Khilafah setelah Khilafah dihapuskan pada tahun 1924 oleh Turki Utsmani. KH Masjkur menyebut wakil dari ulama tradisi yang datang di acara-acara Kongres al-Islam, yaitu: KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Abdul Calim (maksudnya adalah KH. Abdul Chalim Leuwimunding), H. Hasan Gipo, H. Saleh Samil, dan H. Ahzab.
Dalam Komite Hijaz, beliau adalah tokoh yang diminta oleh para sahabatnya untuk mengundang kiai-kiai di seluruh Jawa Madura, dan menulis undangannya bersama KH Abdul Wahab Chasbullah pada tahun 1926. Dalam undangan itulah, beliau menegaskan kepada KH Abdul Wahab Chasbullah tentang perjuangan kemerdekaan dengan mengundang para kiai, dan bertanya kepada KH Abdul Wahab Chasbullah yang dicatat dalam karyanya: “Pak Kiai apakah ngandung tujuan, kita untuk menuntut kemerdekaan…”
Beliau juga ikut memediasi keinginan KH Abdul Wahab Chasbullah dengan gurunya, yaitu Hadratussyekh KH Hasyim Asyari untuk mendirikan NU. Ketika bertemua Hadratussyekh, beliau menulis perkataan Hadratussyekh tentang izin pendirian Jamiyah (NU) begini.
“Saya terimalah kata darilah paduka, Pak Ki Hasyim yang mulia malah berkata, Mas Dul Halim sebelum NU berdiri, telah saya kasihan pada Kiai, Abdul Wahab yang ditendang sana sini, mau bantu tak dapat jalan izin, tiga tahun itulah saya mikirkan, barulah sekarang terdapatnya jalan, ini nyata jikalau nilai, otak satu yang tumbuh kalau dinilai, Pak Ki Wahab beliau juga pernah beliau bilang, ini guru saya yang harus memegang, saya hanya untuk berjalan wuzara’…”
Katib Tsani Syuriyah Pertama
Setelah terbentuk kepengurusan NU pada tahun 1926, KH Abdul Chalim duduk sebagai Katib Tsani yang menjadi dapur kerja-kerja KH Abdul Wahab Chasbullah (sebagai Katib Awal) di dalam jajaran Syuriyah. Sementara Hadratussyekh KH Hasyim ASy`ari sebagai Rais Akbar NU; Ketua Tanfidiyah dijabat oleh H Hasan Gipo, yang sebelumnya menjabat sebagai Komisaris Sarekat Islam Cabang Surabaya, sebagaimana disebut Andi Achdian (2023: 133). Jabatan itu terus berlangsung sampai periode kepengurusan tahun 1928. Muktamar ke-3 NU mengamanatkan Kiai Chalim untuk menjabat sebagai salah satu a’wan Syuriyah bersama kiai-kiai khusus lain.
KH Abdul Chalim Leuwimunding juga dipilih para kiai NU untuk menjadi bagian dari sembilan tokoh khusus yang duduk dalam Lajnah Nashihin, sebuah institusu yang bertugas mengajak para kiai-kiai pesantren untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengembangkan Jam`iyah Nahdlatul Ulama.
Lajnah Nashihin dihasilkan oleh keputusan Majlis Khamis di Muktamar ke-3 NU tahun 1928, terdiri dari Hadratussyekh Hasyim Asy`ari, KH Abdul Wahab Hasbullah, KH.m Shaleh Lateng Banyuwangi, KH Abdul Chalim Leuwimunding, KH Mashum Lasem, KH Bisyri Syansuri Jombang, KH Mustain Jombang, KH Mas Alwi Surabaya, KH.R. Asnawi Kudus, dan KH Abdullah Ubaid. Karena posisi itu, akhirnya aktivitasnya bolak-balik Surabaya-Cirebon-Leuwimunding-Jawa Barat.
Aktivitas KH Abdul Chalim Leuwimunding sejak tahun 1928, selain sebagai a’wan Syuriyah NU dan Lajnah Nashihin, di antaranya: menjadi redaktur Swara Nahdloetoel Ulama (sejak 1928-tidak diketahui kapan berhentinya), mendirikan CKM (Koperasi Kaoem Moeslimin), menjadi Ketua Konsul NU Jawa II (membawahi Jawa Barat), ikut mendirikan cabang-cabang NU di Jawa Barat; menjadi kiai khos dalam penggemblengan Hizbullah di Cibarusah; ikut memimpin gerilya di Jawa Barat-Majalengka, dan sering mengambil markas Pertapaan di Banada dan Rajagaluh.
Beliau juga memimpin Kontingen Jawa Barat-Majalengka-Cirebon untuk menjawab seruan Resolusi Jihad melawan penjajah yang dikumandangkan Rais Akbar NU di Surabaya, selain Kontingen Cirebon ada yang di bawah KH Abbas. Beliau juga ikut melobi tokoh-tokoh yang terlibat dalam DI/TII agar turun gunung; membangun Madrasah Sabilul Chalim di Majalengka; menjadi anggota MPRS sampai beliau wafat pada tahun 1971-1972; dan berkarya menulis kitab-kitab.
Kemudian, pada tahun 1952 Kiai Chalim menjadi pelopor pembentukan Pergunu, badan otonom NU yang menghimpun dan menaungi para guru, dosen, dan ustadz
Menurut KH Asep Saufudin Chalim, abahnya itu wafat tanggal 11 Juni 1972 M, tepat pukul 11.30 WIB. Sebelum wafat, beliau mengumpulkan seluruh keluarganya dan berwasiat agar selalu menjalin persaudaraan, mencintai tanah air, menimba ilmu dan agar selalu bertindak untuk mashlahat umat.
Karya beliau menjadi rujukan otentik tentang sejarah awal NU berjudul Sajarah Perjuangan Kiai Hajj Abdul Wahhab (1971). Pada tahun 2023, beliau diangkat sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Jokowi.
Penulis adalah penulis Biografi KH Abdul Chalim bersama Tim dan sudah terbit, dan kini sedang merampungkan biografi beliau sendirian dalam judul KH Abdul Chalim Leuwimunding: Kyai Nasionalis, Perintis Kemerdekaan, dan Pembangun Bangsa.
Sumber: www.nu.or.id
0 komentar:
Posting Komentar