Kamis, 04 November 2021

Relasi Resolusi Jihad dan Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya


Rakyat dan negeri ini sepatutnya bersyukur atas adanya peristiwa Resolusi Jihad dan Pertempuran 10 November 1945 di Kota Surabaya. Tanpa dua peristiwa ini bisa jadi kata Indonesia tinggallah kata tanpa  makna eksistensi. Indonesia yang saat itu baru saja diproklamirkan harus rela akan kembali dikangkangi oleh kaum kolonialis Belanda dan sekutu pimpinan Inggris. Saat itu Indonesia baru berusia sekitar dua bulan sebagai Negara merdeka ketika dua peristiwa maha penting itu terjadi.

Negara tanpa tentara nasional harus menerima kenyataan pahit kembali mendapat rongrongan, infiltrasi, gertakan dan pressure yang lebih tepatnya disebut sebagai teror dari satu Negara kepada mantan Negara jajahannya. Namun Indonesia bukanlah Negara kecil. Indonesia bukan saja memiliki rakyat dengan jumlah yang besar, tapi juga memiliki nyali yang tidak bisa dianggap enteng. Selain memiliki rakyat, Indonesia juga memiliki pemimpin-pemimpin revolusi sebagai umaro dan juga para ulama yang doanya tembus ke langit. Indonesia memiliki Soekarno sebagai pemimpin revolusi dan Hadratus Syeikh K.H. Muhammad Hasyim Asy’arie dan para kiai sebagai motor dan dinamisator penggerak perjuangan rakyat.

Sebagai bukti napak tilas perjuangan ini adalah naskah Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama. Sehingga tidak berlebihan jika pada tahun 2015, Presiden Ke-7 Indonesia Mister Joko Widodo memberikan apresiasi atas peran santri dan kiai dalam mempertahankan kemerdekaan. Apresiasi itu dituangkan dalam sebuah Surat Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang penetapan Hari Santri Nasional. Pada tahun 1945 terbukti para santri dan kiai telah menancapkan tonggak sejarah dan mengukirnya dengan tinta emas. Kalangan santri yang dicap sebagai kaum sarungan dan gudikan telah membuktikan darma baktinya untuk negeri ini. Mereka memahami spirit dakwah dengan baik. Bagaimana mungkin membangun masyarakat dan agama di atas tanah negeri yang bersengketa. Mereka meyakini ajaran agama apapun bisa tumbuh subur di atas bumi yang damai dan bersahaja.

Kehadiran Resolusi Jihad memperkuat peristiwa pertempuran 10 November, tanpa dua peristiwa ini bisa jadi Indonesia tinggallah kenangan. Peristiwa pertempuran 10 November sendiri bukanlah peristiwa tunggal. Peristiwa ini adalah titik puncak sekaligus pemicu timbulnya gerakan-gerakan perjuangan perlawanan rakyat Indonesia terhadap imperialis Belanda yang tamak dan rakus ingin kembali mengkoloni Nusantara. Setelah kematian Brigadir Jenderal Mallaby, Inggris mengultimatum arek-arek Suroboyo untuk menyerah. Ultimatum tersebut meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjtaan dan menghentikan perlawanan pada tentara sekutu dan NICA serta ancaman akan menggempur kota Surabaya dari darat, laut, dan udara apabila Indonesia tidak menaati perintah Inggris.

Mendengar ancaman itu arek-arek Suroboyo semakin beringas dan terbakar semangat mereka. Di bawah komando Bung Tomo dan Gubernur Suryo, semangat perjuangan mereka memuncah dan terjadilah tragedi pertempuran 10 November 1945 yang terkenal itu. Sekitar 20,000 pejuang dan penduduk Surabaya meninggal, 150.000 penduduk terpaksa mengungsi meninggalkan kota Surabaya, dan hanya 1.600 tentara sekutu yang tewas, luka, dan hilang. Peperangan di manapun pasti membawa korban dan menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan. Percayalah banyak peperangan terjadi di dunia ini karena nasfu segenlintir orang yang kemudian menyeret dan merugikan banyak rakyat kecil. Mari kirimkan fatiihah untuk untuk para suhada bangsa korban pertempuran 10 November 1945.  

Selamat Hari Pahlawan 10 November 2021

Pahlawanku Inspirasiku!!

Salam Moderasi Beragama

Penulis: Bakri, S.Pd.I., M.Pd.I

(Guru SMK Islam Yapim Manado)


0 komentar:

Posting Komentar